BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pada
kehamilan, memiliki kompetensi pada kematian, sehingga angka kematian ibu (AKI)
semakin meningkat. Salah satu penyebab utama kematian dinegara berkembang
kurang lebih 15-20% dari seluruh angka kematian maternal. Maka pemerintah
mengadakan program upaya meningkatkan kesehatan ibu dengan menurunkan angka
kematian ibu. Target pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) Tahun 2015
dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi prioritas utama dalam
pembangunan kesehatan di Indonesia (depkes, 2010).
Dari
target MDGs 102 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH), pada tahun 2012 AKI telah
mengalami penurunan dari 359 per 100.000 menjadi 118 per 100.000 KH. (depkes,
2010).
Angka
kematian maternal d Iindonesia adalah 4,5 per juta penduduk, tertinggi diantara
Negara-negara ASEAN salah satu penyebab kematian tersebut adalah
preeklamsia-eklamsia yang bersama infeksi, perdarahan dan syok diperkirakan
mencakup 75-80% dari keseluruhan kematian maternal.
Faktor
yang mempengaruhi permasalahan dalam kehamilan didapatkan Hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia tahun 2001 menunjukkan bahwa 89,5%
kematian ibu di Indonesia terjadi akibat komplikasi kehamilan, persalinan dan
masa nifas dan 10,5% terjadi karena penyakit yang memperburuk kondisi ibu,
insiden preeklamsi berat 2,61%, eklampsia 0,84%. Hasil SKRT tahun 2001 juga
menunjukkan bahwa proporsi kematian ibu tertinggi terjadi pada ibu yang berusia
lebih dari 34 tahun dan melahirkan lebih dari tiga kali (18,4 %). Kasus kematian
ibu terutama terjadi akibat komplikasi perdarahan (34,3%), keracunan kehamilan
(23,7%). Kasus perdarahan yang paling banyak adalah perdarahan post partum
(18,4%). Kasus kematian karena penyakit yang memperburuk kesehatan ibu hamil,
terbanyak adalah penyakit infeksi (5,6%) serta ketidakmampuan dan / atau kelalaian
tenaga kesehatan (5,6%) (Yuliana Misar,2012).
Beberapa
hal yang menyebabkan tingginya angka kematian ibu berpangkal pada kompleksnya
permasalahan yang melatarbelakangi yaitu, terlalu muda atau terlalu tua untuk
melahirkan, tidak melakukan pemeriksaan kehamilan dengan teratur. Proses yang
paling dekat terhadap kejadian kematian ibu, disebut sebagai determinan dekat
yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi yang terjadi dalam kehamilan, persalinan
dan masa nifas. Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi,
baik komplikasi kehamilan maupun komplikasi persalinan, sedangkan wanita yang
tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut (Yuliana Misar,2012).
Jadi
untuk pemecahan masalah dalam permasalahan persalinan yaitu dengan meningkatkan
kompetensi / keahlian tenaga kesehatan, memperbantukan tenanga kesehatan yang
professional ke desa-desa terpencil untuk berkolaborasi dengan tenaga
non-profesional, kurangnya pencegahan infeksi dan kelalaian tenaga kesehatan
dengan diberikan pelatihan dan praktik untuk aplikasinya, kemudian untuk
meminimalkan permasalahan dalam persalinan, dilakukannya deteksi komplikasi
secara dini dengan kunjungan ANC secara teratur dan berikan informasi untuk
kunjungan ulang (Yuliana Misar,2012).
Dari uraian di atas maka penulis menjadikan kasus Kehamilan
dengan eklamsia sebagai bahan studi
kasus dengan judul “Laporan kasus kehamilan pada Ny. S usia 37 tahun G4P3AO
Hamil 34 minggu 1 hari dengan eklamsia”.
1.2
Tujuan
1.2.1
Tujuan Umum
Membantu menangani
komplikasi kehamilan pada Ny. S usia 37 tahun G4P3AO
Hamil 34 minggu 1 hari dengan eklamsia.
1.2.2
Tujuan Khusus
Diharapkan setelah
melakukan penanganan komplikasi kehamilan, penulis mampu:
1. Melakukan pengkajian data pada Ny.
S usia 37 tahun G4P3AO Hamil 34 minggu 1 hari
dengan eklamsia.
2. Menegakkan diagnosa dari pemeriksaan yang telah dilakukan
pada Ny. S usia 37 tahun G4P3AO
Hamil 34 minggu 1 hari dengan eklamsia.
3.
Membuat antisipasi
masalah potensial dari hasil pemeriksaan Ny. S usia 37 tahun G4P3AO
Hamil 34 minggu 1 hari dengan eklamsia.
4.
Melakukan identifikasi
kebutuhan tindakan segera pada Ny.
S usia 37 tahun G4P3AO Hamil 34 minggu 1 hari
dengan eklamsia.
5. Membuat perencanaan untuk penanganan komplikasi kehamilan
yang akan dilakukan terhadap Ny.
S usia 37 tahun G4P3AO Hamil 34 minggu 1 hari
dengan eklamsia.
6. Melaksanakan apa yang telah direncanakan untuk membantu menangani
komplikasi kehamilan Ny.
S usia 37 tahun G4P3AO Hamil 34 minggu 1 hari
dengan eklamsia.
7. Melakukan evaluasi dari asuhan yang telah diberikan kepada Ny.
S usia 37 tahun G4P3AO Hamil 34 minggu 1 hari
dengan eklamsia.
1.3
Manfaat
Penulisan
Laporan ini dibuat agar
dapat memberikan manfaat
bagi :
1.3.1
Rumah
bersalin (RB)
Diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai penanganan komplikasi kehamilan.
1.3.2
Pendidikan
Diharapkan dapat menambah
pengetahuan mahasiswa kebidanan untuk mengetahui perilaku individu tentang
perubahan patologi dalam kehamilan dan juga
memberikan informasi tambahan kepada para pembaca.
1.3.3
Klien/Masyarakat
Diharapkan
dapat mendeteksi komplikasi dini untuk kesejahteraan ibu pada kehamilan
berikutnya serta menambah pengetahuan masyarakat mengenai penanganan komplikasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Preeklamsia dan
eklamsia
2.1
Definisi
2.1.1
Preeklamsia
Pre-eklamsia adalah
kondisi khusus dalam kehamilan, ditandai dengan peningkatan tekanan darah (TD)
dan proteinuria. Bisa berhubungan dengan kejang (eklamsia) dan gagal organ
ganda pada ibu, sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi pertumbuhan
dan abrupsio plasenta. (Ester, 2006)
Pre-eklamsi
adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria dan edema yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 pada
kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya misalnya pada mola hidatidosa. (Rukiyah,
2010)
Preeklamsi
adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa
nifas yang terdiri dari trias yaitu hipertensi, proteinuria, dan edema yang
kadang-kadang disertai konvulsi sampai koma, ibu tersebut tidak menunjukkan
tanda-tanda kelainan vascular atau hipertensi sebelumnya. (Rukiyah, 2010)
2.1.2
Eklamsia
Eklamsia adalah
kelainan akut pada wanita hamil pada kehamilan 20 minggu atau lebih atau pada
masa nifas yang di tandai dengan adanya kejang dan atau koma,sebelumnya
didahului oleh trias prekelmasi. (Tufan, 2010)
2.2
Penilaiaan
Klinik
2.3
Tanda
gejala
Gambar
2.1 tanda dan gejala preeklamsia dan eklamsia
2.3.1
Preeklamsia
Menurut Rukiyah (2010) tanda gejala preeklamsi yaitu :
1. Kehamilan
lebih 20 minggu atau persalinan atau masa nifas
2. Hipertensi
3. Edema
4. Proteinuria
2.3.2
Eklamsia
Menurut Tufan (2010)
tanda gejala eklamsi yaitu :
1. Kehamilan
lebih 20 minggu atau persalinan atau masa nifas
2. Tanda-tanda
preeklamsia (hipertensi, edema, dan proteinuria)
3. Kejang-kejang
atau koma
4. Kadang-kadang
disertai gangguan fungsi organ(buku eklamsia)
2.4
Klasifikasi
hipertensi pada kehamilan
Klasifikasi kelompok
kerja Tekanan Darah Tinggi pada kehamilan menurut Hata (2015) yaitu :
1. Hipertensi
Gestasional
Didapatkan desakan darah ≥ 140/90
mmHg untuk pertama kalinya pada kehamilan, tidak disertai dengan proteinuria
dan desakan darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan.
2. Preeklamsi
Kriteria minimum
Desakan darah ≥ 140/90 mmHg setelah
umur kehamilan 20 minggu, disertei dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau
dipstick ≥ 1+
3. Eklamsi
Kejang-kejang pada preeklamsi
disertai koma
4. Hipertensi
kronik dengan superimposed
preeklamsi
Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/24
jam pada wanita hamil yang sudah mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria
hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi
kronik
Ditemukannya desakan darah ≥ 140/90
mmHg, sebelum kehamilan atau sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang
setelah 12 minggu pasca persalinan.
2.5 Faktor
yang mempengaruhi
Faktor
yang mempengaruhi preeklamsi dan eklamsi menurut Hata (2015) yaitu :
1. Risiko yang berhubungan dengan
partner laki
a. Primigravida
b. Primipaternity
c. Umur yang ekstrim : terlalu muda
atau terlalu tua untuk kehamilan
d. Laki-laki yang pernah menikahi
wanita yang kemudian hamil dan mengalami preeklamsi.
e. Pemaparan terbatas terhadap sperma.
f. Inseminasi donor dan donor oocyte
2. Risiko yang berhubungan dengan
riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat pernah preeklamsi
b. Hipertensi kronik
c. Penyakit ginjal
d. Obesitas
e. Diabetes gestational, diabetes
mellitus tipe 1
f. Antiphospholipid antibodies dan
hiperhomocysteinemia
3. Risiko yang berhubungan dengan
kehamilan
a. Mola hidatidosa
b. Kehamilan ganda
c. Infeksi saluran kencing pada
kehamilan
d. Hydrops fetalis
2.6 Diagnosa
Menurut Tufan (2010)
untuk menegakkan diagnose, memerlukan :
1. Adanya
proein dalam urine
2. Fungsi
organ hepar, ginjal, dan jantung
3.
Fungi hematologi /
homeostatis
2.7
Komplikasi
Komplikasi
menurut Rukiyah (2010) yang terberat adalah kematian ibu dan janin. komplikasi
yang biasanya terjadi pada pre eklamsi berat dan eklamsi
a. Solusio
plasenta. Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu yang menderita hypertensi
akut dan lebih sering terjadi pada preeklamsi
b. Hiperpibrinogenemia.
Pada pre-eklamsia berat zuspan ( 1978) menemukan 23% hipofibrinogemia, maka
dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan fibrinoghen secara berkala.
c. Homeolisi.
Penderita dengan preeklamsi berat kadang-kadang menunjukan gejala klinik
homeolisi yang dikenal karena icterus.
d. Pendarahan
otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal dan penderita
eklamsia.
e. Kelainan
mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara
f. Edema
paru-paru. Zuspan ( 1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus eklamsia
karena parah jantung
g. Sindrom
HELLP yaitu hameolisi, elevated libverenzyms dan low platet
h. Kelainan
ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma selendotel tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. kelainan
yang timbul ialah anuria sampai gagal ginjal
i. Komplikasi
lain. Lidah tergigit ,trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang
penomonia aspiratip
j. Prematuritas,
dismaturitas dan kematian janin intra-uterine
2.8
Pecegahan
2.8.1
Preeklamsia
Pencegahan preeklamsia
menurut Hata (2015) dapat dicegah dengan 2 metode yaitu :
Pencegahan dengan non medikal
1. Restriksi garam : tidak terbukti
dapat mencegah terjadinya preeklamsi.
2. Suplementasi diet yang mengandung :
a. Minyak ikan yang kaya dengan asam
lemak tidak jenuh, misalnya omega-3 PŲFA
b. Antioksidan : vitamin C,
vitamin E, ßeta-carotene, CoQ10, N-Acetylcysteine, asam lipoik.
c. Elemen logam berat : zinc,
magnesium, calcium.
3. Tirah baring tidak terbukti :
a. Mencegah terjadinya preeklamsi
b. Mencegah persalinan preterm
Di Indonesia tirah baring masih
diperlukan pada mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadinya preeklamsi.
Pencegahan
dengan medikal
1. Diuretik : tidak terbukti mencegah
terjadinya preeklamsi bahkan memperberat hipovolemia
2. Anti hipertensi tidak terbukti
mencegah terjadinya preeklamsi
3. Kalsium : 1500 – 2000 mg/
hari, dapat dipakai sebagai suplemen pada risiko tinggi terjadinya preeklamsi,
meskipun belum terbukti bermanfaat untuk mencegah preeklamsi.
4. Zinc : 200 mg/hari
5. Magnesium : 365 mg/hari
6. Obat anti thrombotik :
a. Aspirin dosis rendah : rata2 dibawah
100 mg/hari, tidak terbukti mencegah preeklamsi.
b. Dipyridamole
7. Obat-obat : vitamin C, vitamin E,
ßeta-carotene, CoQ10, N- Acetylcysteine, 8.
8. Asam lipoik. **
pencegahan medical diatas merupakan evidence medicine
practice(yang sering dikerjakan) akan tetapi belum terbukti memberikan manfaat
secara EBM
2.8.2
Eklamsia
Menurut Tufan (2010)
penanganan eklamsia yaitu :
1. Terapi
medika mentosa sama seperti pengobatan preeklamsia berat kecuali bila timbul
kejan diberikan 4gr 40% MgSO4
dalam larutan 10 ml intravena secara perlahan-lahan, diikuti 8gr secara IM dan
sediakan kalsium glukonase 1gr dalam 10 ml sebagai antidotum.
Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan
amobarbital/thiopental 3-5 mg/kgBB/IV perlahan-lahan
2. Perawatan
bersama : konsul bagian saraf, penyakit dalam / jantung, mata, anestesi dan
anak
3. Perawatan
pada serangan kejang: dikamar isolasi yang cukup terang /ICU
Pengobatan
obstertik
1. Apabila
pada pemeriksaan, syarat-syarat untuk mengakhiri persalinan pervagina dipenuhi
maka persalinan tindakan dengan trauma yang minimal
2. Apabila
penderita sudah inpartu pada fase aktif langsung dilakukan amniotomi lalu
diikuti partograf. bila ada kemacetan dilakukan seksiosesar
3. Tindakan
seksiosesar dilakukan pada keadaan :
a. Penderita
inpartu
b. Fase
laten
c. Gawat
janin
Cara
pemberian Diazepam pada pre eklamsia dan eklamsi
a. Dosis
awal
Diazevam 10mg 4 IV
pelan-pelan selama 2 menit. Jika kejang berulang ,ulangi dosis awal
b. Dosis
pemeliharaan
Diazevam 40mg dalam
500ml larutan LR/ inpus. Depresi pernafasan ibu, mungkin terjadi jika dosis>
30mg/jam. Jangan diberikan> 100mg /24 jam
c. Jika
pemberian IV tidak mungkin diazevam dapat diberikan perektal, dengan dosis 20
mg dalam seprit 40 ml tanpa jarum
d. Jika
konfulsi tidak teratasi dalam 10 menit, berikan tambahan 10 mg /jam atau lebih,
bergantung BB pasien dan respon klinis
Cara
pemberian magnesium sulfat pada pre-eklamsi dan eklamsi
1. Dosis
awal : 4 gram MgS04 IV ( 20% dalam 20 cc ) selama 5 menit. Segera di lanjutkan
dengan pemberian 10 gram larutan MgS04 40% , masing – masing 5 gram bokong
kanan dan 5 gram bokong kiri , ditambah 1ml lignokain 2% pada sepuit yang sama.
Pasien akan merasa agak panas sewaktu pemberian MgS04, dapat juga di berikan
secara per drip untuk 4-6 jam.
2. Dosis
pemeliharaan : 1-2 gram perjam per infus. lanjutkan MgS04 sampai 24 jam
pascapersalinan atau kejang terakhir.
Syarat
– syarat pemberian MgS04
a. Harus
tersedia antidotum MgS04, bila terjadi intoksikasi yaitu calcium gluconas 10% =
1 gram ( 10% dalam 10 cc) diberikan intravenous dalam 3 menit.
b. Reflex
patella positif kuat
c. Frekuensi
pernapasan lebih 16 kali per menit.
d. Produksi
urin lebih 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc / kg BB / jam )
MgS04 di hentikan bila
a. Ada
tanda – tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi , reflex fisiologis
menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan selanjutnya
dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot – otot pernapasan karena ada
serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah
4-7 mEq/liter. Reflex fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar 12
-15 mEq / liter terjadi kematian jantung.
b. Bila
timbul tanda – tanda keracunan magnesium sulfat
Hentikan pemberian
magnesium sulfat
Berikan calcium
gluconase 10% 1 gram ( 10 % dalam 10 cc ) secara IV dalam waktu 3 menit.
Berikan oksigen.
Lakukan pernapasan
buatan
Magnesium
sulfatdihentikan juga bila setelah 4 jam pascapersalinan sudah terjadi
perbaikan( normotensif).
B.
Syok
2.1
Definisi
Syok
merupakan kegagala system sirkulasi untuk mempertahanka perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital. Syok merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa dan
membutuhkan tindakan segera da intensif. (IBI, 2012)
Syok
atau renjatan dapat merupakan keadaan terdapatnya pengurangan yang sangat besar
dan tersebar luas pada kemampuan pengangkutan oksigen serta unsur- unsur gizi
lainnya secara efektif ke berbagai jaringan. (fitria, 2010)
2.2
Jenis-jenis
Syok
Menurut syifaana (2014) jenis-jenis syok yaitu:
1.
Syok
Hipovolemik
Hipovolemik
berarti berkurangnya volume intravaskuler. Sehingga syok hipovolemik
berarti syok yang di sebabkan oleh berkurangnya volume intravaskuler. Di
Indonesia shock pada anak paling sering disebabkan oleh gastroenteritis dan
dehidrasi, dan shock perdarahan paling jarang, begitupun shock karena
kehilangan plasma pada luka bakar dan shock karena translokasi cairan. Adapun
penyebabnya adalah :
a.
Perdarahan
b.
Kehilangan
plasma (misal pada luka bakar)
c. Dehidrasi, misal karena puasa lama, diare, muntah,
obstruksi usus dan lain-lain.
2.
Syok
Kardiogenik
Syok
kardiogenik disebabkan oleh
kegagalan fungsi pompa jantung yang mengakibatkan curah jantung menjadi
berkurang atau berhenti sama sekali untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Syok
kardiogenik ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel, yang mengakibatkan
gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen
ke jaringan. Ventrikel
kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakan curah jantung yang
memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Syok kardiogenik dapat
didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tanda syok dan dijumpai adanya
penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas, gangguan irama jantung, rasa nyeri daerah
torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat
jantung. Adapun penyebabnya adalah :
a.
Aritmia
b.
Bradikardi
/ takikardi
c.
Gangguan
fungsi miokard
d.
Infark
miokard akut, terutama
infark ventrikel kanan
e. Penyakit jantung arteriosklerotik
3.
Syok
Septik
Syok
septic merupakan syok yang disertai adanya infeksi (sumber infeksi). Syok ini
terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya di dalam tubuh
yang berakibat vasodilatasi. Pada syok septik hipoksia, sel yang terjadi tidak
disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena ketidakmampuan
sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. Pasien-pasien sepsis dengan
volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia,
kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.
Syok septik dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (Pseudomonas
auriginosa, Klebsiella, Enterobakter, E. choli, Proteus). Infeksi bakteri gram
positif 20-40% (Stafilokokus aureus, Stretokokus, Pneumokokus), infeksi jamur
dan virus 2-3% ( Dengue
Hemorrhagic Fever, Herpes viruse), protozoa (Malaria falciparum).
4. Syok Neurogenik Syok neurogenik adalah syok yang
terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh.
Syok neurogenik juga dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok distributif,
hasil dari perubahan resistensi pembuluh darah sistemik yang diakibatkan oleh
cidera pada sistem saraf seperti trauma kepala, cidera spinal, atau anastesi
umum yang dalam. Pada syok neurogenik terjadi gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi
vasodilatasi, misalnya trauma pada tulang belakang, spinal syok. Adapun
penyebabnya antara lain :
a. Trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau
paraplegia (syok spinal).
b. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti
rasa nyeri hebat pada fraktur tulang.
c. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan
obat anestesi spinal/lumbal.
d. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom).
e. Suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut.
5. Syok Anafilaksis Adalah suatu reaksi anafilaksis
berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi. Anafilaksis merupakan
kondisi alergi di mana curah jantung dan tekanan arteri seringkali menurun
dengan hebat. Adapun penyebabnya adalah :
a.
Makanan
: kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
b.
Allergen
immunotherapy
c.
Gigitan
atau sengatan serangga
d.
Obat-obat
: penicillin, sulpha, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID
e.
Latex
f. Vaksin
Anafilaksis idiopatik : anafilaksis yang terjadi
berulang tapa diketahui penyebabnya meskipun sudah dilakukan
evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast
yang menyebabkan pengeluaran histamine.
Tablel 2.1 Klasifikasi
perdarahan
Kelas
|
Jumlah Perdarahan
|
Gejala Klinik
|
I
|
15% (Ringan)
|
Tekana darah dan nadi normal
Tes Tilt (+)
|
II
|
20-25% (sedang)
|
Takikardi-Takipnea
Tekanan nadi < 30 mmHg
Tekanan darah sistolik rendah
Pengisian darah kapiler
lambat
|
III
|
30-35% (Berat)
|
Kulit dingin, berkerut, pucat
Tekanan darah sangat rendah
Gelisah
Oliguria (<30 ml/jam)
Asidosis metabolic (pH < 7.5)
|
IV
|
40-45% (sangat berat)
|
Hipertensi berat
Hanya nadi karotis yang teraba
Syok ireversibel
|
2.3
Etiologi
Menurut
saifuddin (2012) terjadinya syok dalam kebidanan yang terbanyak adalah pada
kasus gawat darurat obstetric biasanya perdarahan (syok hipovolemik), kemudian sepsis
(syok septic), gagal jantung (syok kardiogenik), rasa nyeri (syok neurogenik),
alergi (syok anafilaktik).
2.4
Patofisiologi
Menurut Syifaana (2014)
patofisiologi syok yaitu :
Syok merupakan hasil dari kegagalan
sistem sirkulatori untuk mengantarkan oksigen (O2) yang cukup ke jaringan tubuh
secara normal atau berkurangnya konsumsi O2. Mekanisme umum patofisiologi dari
jenis syok yang berbeda-beda hampir sama kecuali kejadian awalnya.
Syok hipovalemik dikarakteristik
oleh defisiensi volum intravaskular karena kekurangan eksternal atau
redistribusi internal dari air ekstraselular. Syok tipe ini dapat diperburuk
oleh hemorrhage, luka bakar, trauma, operasi, obstruksi intestinal, dan
dehidrasi dari hilangnya cairan, pemberian yang berlebihan dari diuretik loop,
dan diare serta mual yang parah. Hipovalemia relatif terhadap syok hipovalemik
dan terjadi selama vasodilatasinya signifikan. Yang disertai dengan
anafilaksis, sepsis, dan syok neurogenik.
Penurunan tekanan darah (blood
pressure BP) dikompensasikan oleh meningkatnya aliran keluar simpatetik,
aktivasi renin-angiotensin, dan faktor humoral lainnya yang menstimulasi
vasokontriksi periferal. Akibatnya, vasokontriksi mendistribusikan kembali
darah ke kulit, otot skelet, ginjal, dan jalur gastrointestinal (GI) menuju
organ vital (contoh jantung, otak) dalam halnya menjaga oksigenasi, nutrisi,
dan fungsi organ.
2.5
Mekanisme
Syok
Menurut Syifaana (2014) ada 3 tahap dalam mekanisme
terjadinya syok, yaitu:
1. Tahap non progresif
Mekanisme neurohormonal membantu mempertahankan curah
jantung dan tekanan darah. Meliputi refleks baroreseptor, pelepasan
katekolamin, aktivasi poros rennin-angiotensin, pelepasan hormonan antidiuretik
dan perangsangan simpatis umum. Efek akhirnya adalah takikardi, vasokontriksi
perifer dan pemeliharaan cairan ginjal. Pembuluh darah jantung dan otak kurang
sensitive terhadap respon simpatis tersebut sehingga akan mempertahankan
diameter pembuluh darah, aliran darah dan pengiriman oksigen yang relative
normal ke setiap organ vitalnya.
2. Tahap progresif
Jika penyebab syok yang mendasar tidak diperbaiki, syok
secara tidak terduga akan berlanjut ke tahap progresif. Pada keadaan
kekurangan oksigen yang menetap, respirasi aerobic intrasel digantikan oleh
glikolisis anaerobik disertai dengan produksi asam laktat yang berlebihan.
Asidosis laktat metabolic yang diakibatkannnya menurunkan pH jaringan dan mengumpulkan
respon vasomotor, arteriol berdilatasi dan darah mulai mengumpul dalam
mikrosirulasi. Pegumpulan perifer tersebut tidak hanya akan memperburuk curah
jantung, tetapi sel endotel juga berisiko mengalami cedera anoksia yang
selanjutnya disertai DIC. Dengan hipoksia jaringan yang meluas, organ vital
akan terserang dan mulai mengalami kegagalan. Secara klinis penderita
mengalami kebingungan dan pengeluaran urine menurun.
3. Tahap irreversible
Jika tidak dilakukan intervensi, proses tersebut akhirnya memasuki
tahap irreversible. Jelas sel yang meluas tercermin oleh adanya kebocoran enzim
lisosom, yang semakin memperberat keadaan syok. Fungsi kontraksi miokard akan
memburuk yang sebagiannya disebabkan oleh sintesis nitrit oksida. Pada tahap
ini, klien mempunyai ginjal yang sama sekali tidak berfungsi akibat nekrosis
tubular akut dan meskipun dilakukan upaya yang hebat, kemunduran klinis yang
terus terjadi hampir secara pasti menimbulkan kematian.
2.6
Diagnosis
Menurut Syifaana (2014) untuk dapat menegakkan diagnose
perlu memperhatikan :
1. hipotensi (SBP kurang dari 90 mmHg),
indeks jantung menurun (CI kurang dari 2,2 mL/menit/m2), takikardia (denyut
jantung, [heart rate, HR] lebih besar dari 100 denyut/menit), dan urin yang
dikeluarkan sedikit (kurang dari 20 mL/jam).
2. Evaluasi BP dengan menggunakan
sphygmomanometer dan stetoskop menjadi tidak akurat pada saat syok.
3. Dua nilai yang diukur pertama adalah
gas darah arteri yang menghasilkan tekanan dari karbon dioksida (PaCO2) dan
SaO2.
4. Fungsi ginjal dapat diestimasi
secara keseluruhan dengan pengukuran keluarnya urin per jam tetapi
estimasi bersihan kreatinin serum yang terisolasi secara analitik penderita
yang sakit akan memberikan hasil eror. Penurunan perfusi renal dan pelepasan
aldosteron sebagai akibat dari retensi natrium dan kemudian rendahnya natrium
urin (UNa kurang dari 30 mEq/L).
2.7
Tanda
dan Gejala
Menurut IBI (2012) tanda gejala syok
antara lain :
1. Nadi
cepat dan lemah (110 permenit atau lebih)
2. Tekanan
darah yang rendah (sistolik kurang dari 90 mmHg)
3. Pucat
(khususnya pada kelompak mata bagian dalam, telapak tangan, atau sekitar mulut)
4. Keringat
atau kulit yang terasa dingin dan lembab
5. Pernapasan
yang cepat (30 kali permenit atau lebih)
6. Gelisah,
bingung, atau hilangnya kesadaran.
7. Urine
yang sedikit (kurang dari 30 ml per jam).
2.8
Komplikasi
Komplikasi
akibat dari penanganan yang tidak adekuat dapat menyebabkan asidosis metabolik
akibat metabolisme anaerob yang terjadi karena kekurangan oksigen. Hipoksia
atau iskemia yang lama pada hipofise dan ginjal dapat menyebabkan nekrosis
hipofise dan gagal ginjal akut. Koagulasi intravaskular yang luas disebabkan
oleh lepasnya tromboplastin dari jaringan yang rusak. Kegagalan jantung akibat
berkurangnya aliran darah koroner dalam fase ini kematian mengancam. Transfusi
darah saja tidak adekuat lagi dan jika penyembuhan (recorvery) fase akut terjadi, sisa-sisa penyembuhan akibat
nekrosis ginjal atau hipofise akan timbul. (Prawirohardjo, 2006)
2.9
Penatalaksanaan
Menurut IBI (2012) prinsip dasar penanganan
syok terdiri atas menstabilkan kondisi pasien, memperbaiki volume cairan
sirkulasi darah, mengefisiensikan system sirkulasi darah dan setelah pasien
stabil tentukan penyebab syok.
2.9.1. Penanganan Awal Syok
a. MINTALAH BANTUAN. Segera mobilisasi
seluruh tenaga yang ada dan siapkan fasilitas tindakan gawatdarurat.
b. Lakukan pemeriksaan secara tepat
keadaan umum ibu dan harus dipastikan bahwa jalan napas bebas.
c. Pantau tanda vital (nadi, tekanan
darah, pernapasan, dan suhu tubuh).
d. Baringkan ibu tersebut dalam posisi
miring untuk meminimalkan resiko terjadinya aspirasi jika ia muntah dan untuk
memastikan jalan napasnya terbuka.
e. Jagalah ibu tersebut tetap hangat
tetapi jangan teralalu panas karena hal ini akan menambah sirkulasi perifernya
dan mengurangi aliran darah ke organ vitalnya.
f. Naikkan kaki untuk menambah jumlah
darah yang kembali ke jantung.
2.9.2. Penanganan Khusus
a. Mulailah infus intravena (lakukan
pemeriksaan secara tepat keadaan umum ibu dan harus dipastikan bahwa jalan
napas bebas jika memungkinkan) dengan menggunakan kanul atau jarum terbesar).
Darah diambil sebelum pemberian cairan infus untuk pemeriksaan golongan darah
dan uji kecocokkan, pemeriksaan hemoglobin, dan hematokrit. Jika memungkinkan
pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit, ureum, kreatinin, pH darah dan
elektrolit, faal hemostatis dan uji pembekuan.
b. Jika vena perifer tidak dapat
dikanulasi lakukan venous cut-down.
c. Pantau terus tanda-tanda vital
setiap 15 menit dan darah yang hilang. Apabila kondisi pasien membaik,
hati-hati agar tidak berlebihan memberi cairan. Napas pendek dan pipi bengkak
merupakan tanda kemungkinan kelebihan pemberian cairan.
d. Lakukan kateterisasi kandung kemih
dan pantau cairan yang masuk dan jumlah urin yang keluar.
e. Berikan oksigen dengan kecepatan 6–8
liter/menit dengan sungkup atau kanula hidung.
2.9.3. Terapi obat-obatan
a. Analgesik:
morfin 10-15 mg IV jika ada rasa sakit, kerusakan jaringan atau gelisah.
b. Kortikosteroid:
hidrokortison 1 g atau deksametason 20 mg IV pelan-pelan. Cara kerjanya masih
kontroversial, dapat menurunkan resistensi perifer dan meningkatkan kerja
jantung dan meningkatkan perfusi jaringan.
c. Sodium
bikarbonat: 100 mEq IV jika terdapat asidosis
d. Vasopresor:
untuk menaikkan tekanan darah dan mempertahankan perfusi renal.
e. Dopamin: 2,5
mg/kg/menit IV sebagai pilihan utama
f. Beta-adrenergik
stimulant: isoprenalin 1 mg dalam 500 ml glukosa 5% IV infuse pelan-pelan
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN
PADA IBU HAMIL DENGAN EKLAMSI
Tempat : RB Kita
Tgl masuk :
06 Maret 2015 pukul 10.00 WIB
Tgl Pengkajian : 06 Maret 2015 pukul 10.00 WIB
Data
subjektif : Ny. S usia 37
tahun datang pada tanggal 6 Maret 2015 jam 10.00 WIB diantar oleh suami dan
keluarga, ibu datang dengan kejang, mata menonjol, terbuka tanpa melihat,
tangan bergetar dan mengepal, seluruh otot-ototnya berkontraksi dengan cepat,
mulut membuka dan menutup, dari mulut keluar ludah yang berbusa, suami
mengatakan ibu kejang sejak 2 menit yang lalu, sebelum terjadi kejang ibu
mengeluh nyeri kepala hebat, pandangan kabur dan nyeri ulu hati, suami Ny. S
mengatakan istrinya tidak mempunyai penyakit keturunan diabetes, sebelum hamil
isterinya tidak mempunyai penyakit apapun dan saat hamil muda pun isterinya
tidak pernah mengalami kejang seperti saat ini, suami Ny. S mengatakan istrinya
hamil 8 bulan dengan HPHT 10 Juli 2014 TP 17 April 2015 dan suami mengatakan
ini kehamilan yang ke-4, sudah memiliki 3 orang anak dan belum pernah
keguguran, suami Ny.S mengaku istrinya sering mengatakan bahwa janinnya sering
bergerak dan saat janinnya bergerak tidak merasakan sakit.
Data
objektif : keadaan umum:
kejang, kesadaran: sopor, TD: 160/140 mmHg, Suhu: 39,50C, Nadi: 110
x/menit, Respirasi: 40 x/menit. Pemeriksaan wajah: terlihat kaku, pucat, dan
terdapat oedema. Mata: bola mata menonjol, oedema pada kelopak mata. Mulut:
mengeluarkan ludah berbusa. Leher: kaku, tidak ada pembengkakan kelenjar
tyroid, tumor tidak ada. Jantung: frekuensi cepat. Payudara: simetris,
hiperpygmentasi pada areola, kolostrum (-). Ekstremitas: tungkai simetris,
tangan mengepal dan bergetar, pada kaki dan tangan oedema (+). Perut: membesar
dengan arah melebar, linea nigra(+), strie alba(+), kelainan tidak ada.
Pemeriksaan palpasi TFU 27cm, Leopold I FU terisi lunak, kurang bulat, tidak
melenting (bokong), Leopold II kanan teraba satu tahanan, panjang keras seperti
papan (punggung) kiri teraba bagian-bagian kecil (ekstremitas), Leopold III bagian
bawah terisi bulat, keras, melenting (kepala), Leopold IV tangan divergen.
Tafsiran Berat Janin TBJ: (27-13)x155 = 14x155 = 2.170 gram. Pemeriksaan
auskultasi DJJ dengan punctum maksimum berada di kuadran kanan 2 jari bawah
pusat frekuensi 165 x/menit. Pemeriksaan laboratorium pemeriksaan urine protein
(++++), HCG (+). USG(+) pada tanggal 20
Januari 2015 dengan hasil janin tunggal hidup intrauterine presentasi kepala
berjenis kelamin laki-laki.
Assesment
: diagnose Ny. S
usia 37 tahun G4P3AO Hamil 34 minggu 1 hari
dengan eklamsia. Janin tunggal hidup intrauterine, presentasi kepala, punggung
kanan, belum masuk PAP. Dasarnya ibu mengatakan bernama Ny. S usia 37 tahun,
hamil yang ke-4 pernah melahirkan 3 kali dan belum pernah keguguran. Usia
kehamilan dari haid terakhir tanggal 10 Juli 2014 sampai kunjungan saat ini
tanggal 06 Maret 2015 adalah 34 minggu 1 hari. Ibu datang dengan kejang, mata
menonjol, terbuka tanpa melihat, tangan bergetar dan mengepal, seluruh
otot-ototnya berkontraksi dengan cepat, mulut membuka dan menutup, dari mulut
keluar ludah yang berbusa, suami mengatakan ibu kejang sejak 2 menit yang lalu,
sebelum terjadi kejang ibu mengeluh nyeri kepala hebat, pandangan kabur dan
nyeri ulu hati. Pemeriksaan keadaan umum: kejang, kesadaran: sopor, TD: 160/140
mmHg, Suhu: 39,50C, Nadi: 110 x/menit, Respirasi: 40 x/menit,
terdapat oedema pada wajah dan ekstremitas (kaki dan tangan), Pemeriksaan
palpasi TFU 27cm, Leopold I FU terisi lunak, kurang bulat, tidak melenting
(bokong), Leopold II kanan teraba satu tahanan, panjang keras seperti papan
(punggung) kiri teraba bagian-bagian kecil (ekstremitas), Leopold III bagian
bawah terisi bulat, keras, melenting (kepala), Leopold IV tangan divergen.
Tafsiran Berat Janin TBJ: (27-13)x155 = 14x155 = 2.170 gram. Pemeriksaan
auskultasi DJJ dengan punctum maksimum berada di kuadran kanan 2 jari bawah
pusat frekuensi 165 x/menit. Pemeriksaan laboratorium pemeriksaan urine protein
(++++). Potensial masalah ibu: gangguan pernafasan dan perdarahan di otak
sedangkan potensial masalah pada janin: hipoksia intrauterine dan prematuritas.
Tindakan segera yang harus dilakukan yaitu bebaskan jalan nafas dengan
memasangkan tong spatel pada mulut ibu agar lidah tidak tergigit dan jalan
nafas bisa terbuka, beri oksigen 4-6 liter/menit, baringkan pasien pada sisi
kiri dengan posisi trendelenburg untuk mengurangi resiko aspirasi, kolaborasi
dengan dokter Sp,OG dalam memberikan therapy selanjutnya.
Penatalaksanaan :
1.
Memberitahukan
keluarga hasil pemeriksaan ibu saat ini bahwa keadaan umum: kejang, kesadaran:
sopor, TD: 160/140 mmHg, Suhu: 39,50C, Nadi: 110 x/menit, Respirasi:
40 x/menit, Usia kehamilan 34 minggu 1 hari, Tafsiran Berat Janin TBJ:
(27-13)x155 = 14x155 = 2.170 gram. Pemeriksaan auskultasi DJJ frekuensi 165
x/menit. Keluarga telah mengetahui hasil pemeriksaan.
2.
Membuat
informed consent untuk diisi oleh keluarga sehingga tindakan yang akan
dilakukan telah mendapatkan persetujuan dari suami dan keluarga. Suami telah
mengisi dan menandatangani informed consent tanpa paksaan.
3.
Melakukan
kolaborasi dengan dokter Sp,OG untuk pemberian therapy selanjutnya. Kolaborasi
telah dilakukan dan dokter memberikan instruksi agar pasien diberikan 4gr 40%
MgSO4 dalam larutan 10 ml intravena secara perlahan-lahan, diikuti 8gr secara
IM dan sediakan kalsium glukonase 1gr dalam 10 ml sebagai antidotum, pasang
infuse dekstran 5% dengan tetesan 20 tetes/menit. Pasien telah diberikan
therapy sesuai instruksi dokter dengan hasil kejang berkurang.
4.
Memasangkan
kateter untuk mengetahui dieresis dan untuk menentukan protein dalam air
kencing secara kuantitatif. Kateter telah dipasangkan dan langsung dilakukan
pemeriksaan protein urine dengan hasil (++++).
5.
Menganjurkan
keluarga untuk membantu mengatur posisi ibu dengan kaki sedikit lebih tinggi
dari pada kepala untuk mengeluarkan lendir yang menghambat jalan nafas ibu dan
selanjutnya posisikan miring kiri dan kanan tiap jam untuk menghindari rasa
pegal pada ibu, keluarga telah mengerti dan mampu melaksanakannya dan hasilnya
lendir dapat keluar.
6.
Memantau
perkembangan yang adekuat dan ukur keseimbangan cairan, kateterisasi urin,
observasi tekanan darah, nadi, pernafasan dan DJJ per 30 menit, suhu dan reflek
setiap jam agar tidak terjadi kejang berulang sebelum ibu sampai ditempat
rujukan. Hasil observasi tidak terjadi kejang berulang.
7.
Memberikan
ibu dan keluarga motivasi berupa dukungan dan semangat emosional pada ibu bahwa
ibu akan baik-baik saja selama dalam pengawasan dan senantiasa berdo’a. ibu dan
keluarga merasa lebih tenang dan slalu berdo’a.
8.
Memberitahukan
ibu dan keluarga bahwa saat ini ibu harus segera dirujuk agar ibu mendapatkan
penanganan yang lebih intensif. Ibu dan keluarga bersedia dan mau untuk
dirujuk.
9.
Membuat
informed consent untuk diisi oleh keluarga sehingga tindakan yang akan
dilakukan telah mendapatkan persetujuan dari suami dan keluarga yaitu tindakan
untuk merujuk ke RS. Suami telah mengisi dan menandatangani informed consent
tanpa paksaan.
10. Menyiapkan manajemen rujukan berupa
BAKSOKU. B: bidan, bidan mengantarkan Ny.S ke RS, A: alat, alat resusitasi
berupa ambu bag, oksigen, standar infuse dan cairan infuse sudah terpasang,
spignomanometer, thermometer, dan Doppler telah siap untuk dibawa agar kondisi
ibu tetap terpantau selama perjalanan menuju RS, K: kendaraan, kendaraan yang
dipakai ambulance dari RB Kita, S: surat, surat rujukan telah dibuat dan sudah
lengkap, O: obat, obat yang dibawa yaitu MgSO4, Lignokain, dan Kalsium
Glukonase, K: keluarga, keluarga dan suami sudah siap mengantarkan Ny.S ke RS,
keluarga juga ikut mempersiapkan membantu mengikat tubuh ibu dengan kain
panjang agar posisi ibu baik dan ibu tidak jatuh saat perjalanan rujukan jika
kejang berulang, U: uang, uang sudah siap atas pernyataan suami Ny S. Manajemen rujukan telah siap dan sudah dalam
perjalanan.
11. Mendokumentasikan hasil pemeriksaan dan
asuhan yang telah diberikan dalam SOAP. Pendokumentasian telah dilakukan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini, kami akan membahas laporan kasus yang telah
dilakukan dengan metode perbandingan teori dan kasus. Disini kami akan melakukan analisa laporan kasus persalinan
pada Ny. S usia 37 tahun G4P3AO
Hamil 34 minggu 1 hari dengan eklamsia.
Pengertian eklamsia
menurut Tufan (2010)
adalah kelainan akut pada wanita hamil pada kehamilan 20 minggu atau lebih atau
pada masa nifas yang di tandai dengan adanya kejang dan atau koma,sebelumnya
didahului oleh trias prekelmasi. Sesuai dengan teori bahwa ibu mengalami
kejang, hipertensi, protein urine dan oedema.
Menurut Tufan (2010) tanda
gejala eklamsia meliputi : Kehamilan lebih 20
minggu atau persalinan atau masa nifas, Tanda-tanda preeklamsia (hipertensi,
edema, dan proteinuria), Kejang-kejang atau koma, Kadang-kadang disertai
gangguan fungsi organ. Sesuai dengan kasus bahwa tanda gejala yang ibu rasakan
meliputi kejang, mata
menonjol, terbuka tanpa melihat, tangan bergetar dan mengepal, seluruh
otot-ototnya berkontraksi dengan cepat, mulut membuka dan menutup, dari mulut
keluar ludah yang berbusa, suami mengatakan ibu kejang sejak 2 menit yang lalu,
sebelum terjadi kejang ibu mengeluh nyeri kepala hebat, pandangan kabur dan
nyeri ulu hati, TD: 160/140 mmHg, Suhu: 39,50C, Nadi: 110 x/menit,
Respirasi: 40 x/menit, terdapat oedema pada wajah dan ekstremitas (kaki dan
tangan), Pemeriksaan laboratorium pemeriksaan urine protein (++++).
Dokter
memberikan instruksi agar pasien diberikan 4gr 40% MgSO4 dalam larutan 10 ml
intravena secara perlahan-lahan, diikuti 8gr secara IM dan sediakan kalsium glukonase
1gr dalam 10 ml sebagai antidotum. Sesuai dari teori Tufan (2010) yaitu terapi medika
mentosa sama seperti pengobatan preeklamsia berat kecuali bila timbul kejang diberikan 4gr 40% MgSO4 dalam larutan 10
ml intravena secara perlahan-lahan, diikuti 8gr secara IM dan sediakan kalsium
glukonase 1gr dalam 10 ml sebagai antidotum.
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Setelah kami melakukan pengkajian, ibu datang dengan kejang, mata menonjol,
terbuka tanpa melihat, tangan bergetar dan mengepal, seluruh otot-ototnya
berkontraksi dengan cepat, mulut membuka dan menutup, dari mulut keluar ludah
yang berbusa, suami mengatakan ibu kejang sejak 2 menit yang lalu, sebelum
terjadi kejang ibu mengeluh nyeri kepala hebat, pandangan kabur dan nyeri ulu.
Dilakukan pemeriksaan
dengan hasil keadaan umum:
kejang, kesadaran: sopor, TD: 160/140 mmHg, Suhu: 39,50C, Nadi: 110
x/menit, Respirasi: 40 x/menit. Pemeriksaan wajah: terlihat kaku, pucat, dan
terdapat oedema. Mata: bola mata menonjol, oedema pada kelopak mata. Mulut:
mengeluarkan ludah berbusa. Leher: kaku, tidak ada pembengkakan kelenjar
tyroid, tumor tidak ada. Jantung: frekuensi cepat. terdapat oedema pada wajah
dan ekstremitas (kaki dan tangan). Tafsiran Berat Janin TBJ: (27-13)x155 =
14x155 = 2.170 gram. Pemeriksaan auskultasi DJJ dengan punctum maksimum berada
di kuadran kanan 2 jari bawah pusat frekuensi 165 x/menit. Pemeriksaan
laboratorium pemeriksaan urine protein (++++).
5.2 SARAN
Setelah mengetahui isi dari
laporan, maka saran yang dapat kami sampaikan
bagi :
1.
Tempat pelayanan kesehatan
Diharapkan dapat memberikan motivasi kepada
ibu hamil dan keluarga untuk pemeriksaan kehamilan secara rutin agar komplikasi
dapat diketahui dan ditangani secara dini.
2.
Pendidikan
Diharapkan dapat menambah reverensi dan pengetahuan kepada pembaca tentang asuhan kegawat daruratan pada ibu
hamil agar dapat menangani pasien secara benar yang di temui di lapangan.
3.
Klien/masyarakat
Diharapkan
dapat menjaga kehamilan dengan baik sehingga pada saat persalinan dapat
ditangani dengan normal dan jika ada tanda bahaya segera hubungi tenaga
kesehatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mulai
tanggal 11 Oktober 2010
Nama Koresponden Yuliana Misar, SKM,
2012
Cemy Nur Fitria, 2010
Redy hata, 2015
Aqilla Syifaana, 2014
IBI.
2012. Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Rukiyah,
Ai Yeyeh. 2010. Asuhan Kebidanan Patologi.
Jakarta: TIM
Prawirohardjo,
Sarwono. 2006. Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Ester,
Monica.2006.Asuhan Kebidanan Persalinan
Dan Kehamilan.Jakarta:EGC
Tufan,
Nugroho.2010.Kasus Emergency Untuk
Kebidanan Dan Keperawatan. Yogyakarta:Nuha Medika